Sabtu, 30 November 2019

HEMATOLOGI


HEMATOLOGI

Hematologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari darah, organ pembentuk darah dan penyakitnya. Khususnya jumlah dan morfologi sel-sel darah, serta sumsum tulang. Darah adalah jaringan khusus yang berbeda dengan organ lain, karena berbentuk cairan. Jumlah darah dalam tubuh adalah 6-8% berat tubuh total. Empat puluh lima sampai 60% darah terdiri dari sel-sel, terutama eritrosit, leukosit dan trombosit. Fungsi utama darah adalah sebagai media transportasi, serta memelihara suhu tubuh dan keseimbangan cairan.

Darah merupakan bagian dari tubuh yang berperan penting dalam mempertahankan kehidupan. Sebab, ia berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Darah berbentuk cairan, sehingga dapat didistribusikan ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah. Volume dalam tubuh bervariasi, pada orang dewasa volume darah sekitar 6 liter atau sekitar 7-8 % dari berat badan. Darah terdiri dari komponen berbentuk dan komponen plasma. Komponen berbentuk kurang lebih 45% (eritrosit, lekosit dan trombosit). Angka (45 ini dinyatakan dalam nilai hermatokrit atau volume sel darah merah yang dipadatkan yang berkisar antara 40 sampai 47.



Pemeriksaan panel hematologi (hemogran) terdiri dari leukosit, eritrosit, hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit dan trombosit. Pemeriksaan hitung darah lengkap terdiri dari hemogram ditambah leukosit diferensial yang terdiri dari neutrofil (segmented dan bands), basofil, eosinofil, limfosit dan monosit.
Rentang nilai normal hematologi bervariasi pada bayi, anak-anak dan remaja, umumnya lebih tinggi saat lahir dan menurun selama beberapa tahun kemudian. Nilai pada orang dewasa umumnya lebih tinggi dibandingkan tiga kelompok umur di atas. Pemeriksaan hemostatis dan koagulasi digunakan untuk mendiagnosa dan memantau pasien dengan pendarahan, gangguan pembekuan darah, cedera vaskuler atau trauma. 
Darah terdiri atas 2 komponen utama, yaitu sebagai berikut:
a.       Plasma Darah, bagian cair darah yang sebagia besar terdiri atas air, elektrolit dan protein darah.
b.      Butir-butir darah (blood corpuscles), yang terdiri atas komponen-komponen berikut ini :
·         Eritrosit yaitu sel darah merah (SDM-red blood cell )
·         Leukosit yaitu sel darah putih (SDP-white blood cell )
·         Trombosit yaitu butir pembeku darah-platelet
1.    Eritrosit
Eritrosit berbentuk bikonkaf dan berdiameter 7-8 mikron. Bentuk bikonkaf tersebut menyebabkan eritrosit bersifat fleksibel sehingga dapat melewati pembuluh darah yang sangat kecil dengan baik. Bentuk eritrosit pada mikroskop biasanya tampak bulat berwarna merah dan dibagian tengahnya tampak lebih pucat, atau disebut (central pallor) diameter 1/3 dari keseluruhan diameter eritrosit. Sel darah merah tidak memiliki inti sel, mitokondria dan ribosom, serta tidak dapat  bergerak. Sel ini tidak dapat melakukan mitosis, foforilasi oksidatif sel, atau pembentukan protein
2.    Leukosit
Leukosit atau sel darah putih merupakan salah satu bagian dari sistem imun yang dapat memberikan perlindungan tubuh dari patogen yang menyerang. Jumlah normal leukosit pada tubuh manusia adalah 4,5 – 10 juta/mm kubik tergantung dari kondisi fisiologis orang tersebut. Leukosit memiliki membran nukleus, akan tetapi tidak memiliki hemoglobin, ukurannya pun relatif besar dan jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan sel darah merah.
3.    Trombosit
Trombosit merupakan komposisi darah yang sangat penting dalam proses pembekuan atau penggumpalan darah. Perlu diketahui bahwa jumlah normal trombosit yang ada dalam tubuh adalah 200.000-400.000/mm kubik. Dimana apabila kadar trombosit dalam tubuh dibawah normal, maka akan kesulitan dalam proses pembekuan darah.

DAFTAR PUSTAKA
Handayani, W dan A.S. Haribowo.2008.Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Hematologi.Salemba Medika, Jakarta.
Waterbury, L. 1998. Buku Saku Hematologi. EGC, Jakarta.

PERMASALAHAN
 1. Apa yang terjadi pada tubuh jika kekurangan dan kelebihan eritrosit ?   
       2.Bagaimana terapi pada anemia ?
       3. Bagaimana kriteria anemia berdasarkan kadar Hb ?




Jumat, 29 November 2019

ANALGETIK


ANALGETIK

Analgetika adalah senayawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit.
Analgetik adalah senyawa yang pada dosis terapi meringankan atau menekan rasa nyeri tanpa memiliki kerja anastesi umum. Nyeri adalah suatu gejala yang berfungsi untuk melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan pada tubuh, seperti peradangan, infeksi bakteri, dan kejang otot.
Berdasarkan mekanisme dan target aksinya, obat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
1.    Analgetik Non-opioid (Non-narkotik)
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah memblok pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri.
a.       Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS/NSAID (Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs))
OAINS umumnya bekerja dengan menghambat biosintesis dari prostaglandin yang dihasilkan saat terjadi inflamasi. Efek analgetiknya jauh lebih lemah dari pada obat-obatan opioid. OAINS tidak menimbulkan ketagihan. Obat ini hanya mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri dan tidak mempengaruhi sensorik lain. OAINS hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simptomatik, tidak menghentikan, memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan. Efek smping yang sering ditimbulkan adalah induksi tukak lambung atau tukak.
b.      Inhibitor COX-2
OAINS penghambat COX-2 selektif ( coxib ) disentesis hanya beberapa tahun setelah COX-2 ditemukan. Keuntungan OAINS jenis ini adalah OAINS ini tidak mengganggu fungsi platelet dan fungsi sistem pencernaan pada dosis biasa dengan efektivitas yang relatif sama dengan OAINS lain. Perlu diperhatikan bahwa OAINS penghambat COX-2 selektif juga memiliki efek samping, dimana mereka mampu meningkatkan risiko gangguan kardivaskuler pada penggunaan jangka panjang.
c.       Analgetik Non-opioid dan Non-OAINS : Asetaminofen (Parasetamol)
Efek analgesik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu mengurangi nyeri ringan sampai sedan. Mekanisme efek antipiretik diduga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Parasetamol bekerja dengan jalan menghambat sintesis prostaglandin pada SSP, ini menerangkan efek analgetik dan antipiretiknya. Efeknya terhadap siklooksigenase jaringan perifer kurang yang mengakibatkan aktifitas anti inflamasinya lemah. Efek sampingnya yaitu gangguan hepar dapat terjadi akibat toksisitas parasetamol.

2.    Analgetik Opioid (Narkotik)
Analgetik narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif, digunakan untuk mengurangi rasa sakit, yang moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung akut, sesudah operasi dan kolik usus atau ginjal. Analgetika narkotik sering pula di gunakan untuk  pramedikasi anestesi, bersama-sama dengan atropin, untuk mengontrol sekresi.
Aktivitas analgetik narkotik jauh lebih besar dibanding analgetik non narkotik, sehingga disebut pula analgetik kuat. Pemberian obat secara terus-menerus menimbulkan ketergantungan fisik dan mental atau kecanduan, dan efek ini terjadi secara cepat. Penghentian pemberian obat secara tiba-tiba menyebabkan sindrom abstinence atau gejala withdrawal. Kelebihan dosis dapat menyebabkan kematian karena terjadi depresi pernapasan


DAFTAR PUSTAKA
Siswandono.2016.Kimia Medisinal Edisi Kedua. Airlangga University Press, Surabaya.
Sovia, E dan E.R.Yuslianti.2019. Farmakologi Kedokteran Gigi Praktis. Penerbit Deepublish, Yogyakarta.


PERMASALAHAN
1. Kenapa obat golongan OAINS bisa menyebabkan tukak lambung ?
2. Bagaimana efek dari metabolisme morfin didalam tubuh ?
3. Pada kondisi seperti apa dosis obat meperidin harus dikurangi ?

Jumat, 22 November 2019

ANTIKONVULSAN (KIMIA MEDISINAL)


ANTIKONVULSAN atau ANTI KEJANG

Obat anti kejang adalah senyawa yang secara selektif dapat menekan sistem saraf pusat dan digunakan untuk mengontrol dan mencegah serangan tiba-tiba dari epilepsi tanpa menimbulkan depresi pernapasan. Epilepsi adalah gejala kompleks yang di karakterisasi oleh kambuhnya serangan hebat disritmia otak disertai dengan gangguan atau hilangnya kesadaran dan kadang-kadang disertai dengan pergerakan tubuh (kejang), biasanya waktunya pendek dan terjadi pada orang tertentu. Obat anti kejang bersifat simptomatik, hanya meringankan gejala saja tetapi tidak menyembuhkan sehingga pengobatan epilepsi diberikan untuk seumur hidup.
Serangan epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.    Serangan kejang parsial
1)      Gejala sederhana (gejala motorik, sensorik dan autoimunik)
2)      Gejala kompleks (gejala pada kesadaran, gejala kognitif, afektif atau psikosensori dan gejala psikomotor)
b.    Serangan kejang generalis
1)      Primer (petit mal sederhana atau kompleks, serangan mioklorik dan atonik, serangan klonik, tonik dan klonik-tonik atau grand mal dan serangan unilateral)
2)      Sekunder
c.    Serangan kejang yang tidak diklasifikasikan
d.   Status epileptikus

Efek samping obat anti kejang antara lain adalah kerusakan sumsum tulang, hati dan ginjal, neuropati, gangguan saluran cerna dan alopesia.

Mekanisme kerja obat anti kejang
Salah satu hipotesis mekanisme kerja obat anti kejang adalah serupa dengan anestetika sistemik dan sedatif hipnotika, yaitu termasuk obat berstruktur tidak spesifik, yang efek farmakologis nya dipengaruhi oleh sifat kimia fisika dan tidak oleh pembentukan kompleks dengan reseptor spesifik.
Pada umumnya obat anti kejang mempunyai dua struktur karakteristik yaitu gugus yang bersifat polar, biasanya gugus imido, dan gugus yang bersifat lipofil. Anti kejang dengan struktur sederhana, kemungkinan berinteraksi secara tidak selektif dan menimbulkan beberapa apa tipe kerja, sedang struktur yang lebih kompleks menunjukkan keselektifan lebih besar dan spektrum kerja yang lebih sempit. Kemungkinan lain, gugus yang satu dapat terlokalisasi lebih luas pada satu daerah reseptor sedang gugus lain interaksinya lebih besar pada daerah reseptor lain sehingga masing-masing gugus menyebabkan kerja kualitatif yang berbeda.
Contoh : gugus pertama kemungkinan bekerja pada serangan kejang parsial atau generalis sedang gugus kedua efektif bekerja pada serangan grand mal

Macam obat anti kejang
Kebanyakan obat anti kejang mengandung struktur ureida yang telah digunakan secara klinis lebih dari 30 tahun tanpa banyak perubahan pada struktur ureidanya. Perubahan kecil pada substituen X struktur ureida akan mengakibatkan perubahan signifikan pada tipe kejang yang dikontrol.
Sebagai hasil dari perkembangan secara cepat dalam teknik biologi molekular untuk studi neurofisiologi epilepsi dan dalam interaksi obat antiepilepsi dengan neurotransmiter pada kanal ion atau reseptor otak (AMPA/Kaglutamat reseptor), muncul obat anti epilepsi generasi baru. Obat-obat antiepilepsi generasi baru tersebut yaitu felbamat, gabapentin, lamotrigin, levetiratetam, oxkarbazepin, tiagabin, topiramat, dan zonisamad.
                             
                        



DAFTAR PUSTAKA
Siswandono.2016.Kimia Medisinal Edisi Kedua. Airlangga University Press, Surabaya.


PERMASALAHAN
1. Bagaimana mekanisme kerja dari topiramat ?
2. Kenapa mafenitoin jarang digunakan sebagai obat antikejang ?
3. Kenapa Fenitoin Na tidak digunakan untuk serangan petit mal ?